written by : Dini Wahyuni
Puluhan siswa pulang dari pemakaman
salah satu teman mereka yang baru saja meninggal dunia, Aldo tewas karena
dibunuh, puluhan tusukan pisau melukai tubuhnya, sekolah mereka kini kembali
berduka, Aldo adalah siswa kelima yang tewas dibunuh di sekolah ini, tidak ada
yang tau siapa pembunuhnya, polisi bahkan tidak dapat
menemukan sidik jari pelaku di tubuh korban, sepertinya pembunuh itu sangat profesional, entah pembunuh bayaran atau hanya sekedar dendam, pusat perhatian tertuju kepada Alia, salah seorang siswi cantik yang duduk dikelas 11, semua korban pembunuhan berkaitan dengannya, bagaimana tidak? Kelima siswa yang terbunuh adalah mantan kekasihnya, siapa saja yang berani memacarinya akan mati mengenaskan, pihak guru berkali-kali menanyakan kepada Alia, apakah ada seseorang yang menyimpan dendam asmara kepadanya sehingga membunuh siapa saja yang mendekatinya, namun Alia bilang tidak ada, ia sendiri merasakan kepedihan setiap kali ditinggal mati oleh sang kekasih, sampai sekarang belum ada yang dapat mengupas kebenaran kasus ini.
menemukan sidik jari pelaku di tubuh korban, sepertinya pembunuh itu sangat profesional, entah pembunuh bayaran atau hanya sekedar dendam, pusat perhatian tertuju kepada Alia, salah seorang siswi cantik yang duduk dikelas 11, semua korban pembunuhan berkaitan dengannya, bagaimana tidak? Kelima siswa yang terbunuh adalah mantan kekasihnya, siapa saja yang berani memacarinya akan mati mengenaskan, pihak guru berkali-kali menanyakan kepada Alia, apakah ada seseorang yang menyimpan dendam asmara kepadanya sehingga membunuh siapa saja yang mendekatinya, namun Alia bilang tidak ada, ia sendiri merasakan kepedihan setiap kali ditinggal mati oleh sang kekasih, sampai sekarang belum ada yang dapat mengupas kebenaran kasus ini.
Dia duduk disana, di atas bangku
kayu di depan kelas, menunduk memandangi susunan keramik putih, ratapannya
mengisyaratkan tekanan bathin, duduk sendirian dijauhi semua orang, di cap
sebagai orang aneh dan pembawa sial, dia tidak tau apa-apa, tetapi harus
menanggung cibiran-cibiran dari mulut ke mulut, rambutnya yang diikat kuncir
kuda dibiarkan jatuh di bahu kanannya, aku memandangnya dari kejauhan, itulah yang
biasa kulakukan, jika aku jadi dia mungkin aku akan mengalami depresi dan
ketakutan yang mendalam, tetapi dia tampak kuat walau sebenarnya bathinnya
rapuh.
Dia masih duduk disana, dan aku
masih memandanginya, memandangi Alia yang terlalu cantik, terlalu anggun dan
terlalu kucintai, cinta yang sengaja ku kubur karena ketakutanku, ketakutan
atas kasus-kasus yang selama ini berkaitan dengannya. Entah cinta apa ini? Yang
membuatku larut di dalamnya, entah sejak kapan aku mencintainya, yang kurasa
cinta yang sudah dilahirkan sejak lama, yang sudah ditakdirkan sebelum aku
bertemu Alia, bahkan sebelum dunia ini diciptakan.
“Alia..!!” aku menyebut namanya
dengan keras saat melihat Alia tiba-tiba saja pingsan di atas bangku kayu itu
dan terjatuh ke lantai, langkahku terhenti saat siswa-siswa lain bergerombol
melihatnya, berselang beberapa detik, yang ku lihat tak ada seorang pun yang
berniat menolongnya, mereka hanya menjadikan Alia sebagai tontonan, mereka
semua takut, takut untuk menyentuhnya, takut karena kasus-kasus itu. Kali ini
aku memberanikan diri, melangkah mendekatinya, Alia juga makhluk sosial yang
membutuhkan individu lain disaat dia tergeletak seperti itu, aku tak peduli
pandangan-pandangan yang mencibir di lorong-lorong sekolah, yang aku tau sekarang
aku akan membawanya ke ruang UKS dan setelah itu Alia siuman.
*****
“kau sudah gila Bar??” dia menepuk
pundakku dari samping, maksudku Hendri teman sebangkuku, “aku tidak gila”
bantahku membuang pandangan membuka halaman buku biologi yang ada di atas
mejaku. “Bara.. Bara.. jelas saja kau sudah gila, kau nekad menggendong gadis
pembawa sial itu barusan, bagaimana jika kau menjadi korban pembunuhan yang
ke-6” perkataan Hendri setengah mencibir, membuatku sedikit tersinggung. Aku tak
membalas cibirannya. Hendri mengambil posisi berdiri dan beranjak pergi,
sepertinya ia tak suka dengan sikapku tadi, entahlah dimataku Alia adalah gadis
yang lemah yang harus dilindungi.
Aku sengaja memilih tempat duduk
paling belakang, bukan karena alasan agar mudah mencontek ketika ulangan atau
motif yang serupa, tetapi agar aku dekat dengan dinding belakang kelas, aku
mencintai dinding itu, bukan karena aku tak waras, tetapi karena ada dia yang
kucintai dibaliknya, Alia ada disana, kelas kami bersebelahan, dinding biru
muda yang memisahkan pandanganku dari Alia sekaligus membuatku terasa dekat
dengannya, setiap kali aku mendekati dinding itu setiap kali itu juga ku hirup
kesejukan pesona Alia. Entah rasa apa ini? Debaran yang ada disetiap aku
mengingatnya. Begitu saja aku mencintainya, seperti layaknya aku bernafas,
mendapatkan oksigen tanpa bersyarat, dan menghembuskannya tanpa ada yang
melarang.
*****
Benarkah barusan? Benarkah Alia
tersenyum malu dan lewat di depanku?, untuk pertama kali aku menatap
punggungnya yang membelakangiku, berjalan melewati lorong-lorong sekolah dan
menghilang dari kejauhan, senyuman itu terasa menjadi daya tarik yang sangat kuat,
membuatku lupa akan konsekuensi yang telah kubuat, melupakan semuanya,
melupakan kasus itu dan janjiku tak akan pernah membongkar cinta yang telah ku
kubur dalam-dalam, tetapi Alia telah membuatku menerobos, melanggar batasku
sendiri.
*****
“kau suka tempat ini Al?” aku
mengajak Alia kepinggir danau sore ini, danau yang biasa menjadi tempat
bersantai keluarga dan para anak muda, tetapi sore ini agak sepi, hanya kami
dan segerombolan anak ABG yang ada di ujung sana, “suka..” hanya satu kata itu
yang keluar dari mulutnya, tetapi terdengar tulus, ia tersenyum menatap kearah
danau, sepertinya dia suka dengan tempat-tempat seperti ini, kami sudah jadian
3 hari yang lalu, ini adalah kencan pertama kami, aku meminta kepada Alia agar
hubungan kami backstreet dengan
alasan orang tuaku masih melarang, namun sebenarnya bukan itu, alasan
sebenarnya jika memang ada seseorang yang memiliki dendam asmara kepada Alia,
tidak akan mengetahui hubungan kami, dan aku aman.
“Bara..” Alia menoleh dan
memanggilku dengan suaranya yang merdu, “iya Al” aku mengangkat kedua alisku
berusaha menebak apa yang ingin dikatakannya, “kenapa kau tidak takut padaku?”,
Alia memasang ekspresi yang serius, “untuk apa takut, tidak ada ketakutan dalam
mencintai, mereka memandangmu seperti itu, tetapi aku tidak, mereka hanya tidak
tau bagaimana kau yang sebenarnya, aku mempercayaimu Alia..”, Alia terdiam
mendengar pemaparanku, wajahnya yang teduh kini memandangiku, lalu ia
menyandarkan kepalanya dibahuku, dan dengan spontan kupeluk Alia dengan lembut,
dan ia pun membalas pelukanku.
*****
Seminggu lamanya, malam ini malam
minggu, aku mengenakan celana jeans hitam dan baju kaos abu-abu, malam ini Alia
mengundangku kerumahnya untuk makan malam dan bertemu dengan keluarganya,
awalnya aku menolak karena hubungan kami backstreet,
tetapi Alia terus meminta dan berjanji hanya orang tuanya yang tau tentang
hubungan kami. Aku pun menurut.
Kini aku berada di depan pintu
rumahnya, ditanganku aku membawa setangkai bunga untuk Alia, tak lama pintu
terbuka, Alia berdiri disana, begitu anggun mengenakan gaun berwarna putih,
rambutnya dibiarkan terurai tidak seperti biasanya, kedipan matanya sangat
cantik, malam ini ia layaknya bak seorang putri dari negeri dongeng, seorang
putri yang menunggu pangerannya datang. “ini untukmu..” aku menyodorkan
setangkai bunga yang kubawa padanya, Alia meraihnya dari tanganku dan menghirup
wangi yang semerbak. Kami masuk dan berada di ruang tamu, tampak sepi, dimana
keluarganya, mungkin sedang menyiapkan makan malam di dapur, pikirku menerka. Cukup
lama kami berbicara empat mata, tak puas-puasnya aku memandangi Alia yang
teramat cantik dan feminim itu, membuat waktu terasa berjalan lambat. “mungkin
makanannya sudah siap, kita ke ruang makan ya Bar..”, ajakan Alia lantas
membuatku segera mengikuti langkahnya.
Sepi, dimana makan malamnya? Disana hanya
ada meja makan yang kosong, tak ada makanan atau siapapun, ada yang tidak
beres, seketika wajahku pucat pasi, namun aku berusaha bersikap tenang, “dimana
orang tuamu Al?” aku memberanikan bertanya, “sstt.. mereka sudah tidur, jangan
berisik ya sayang..”, ini tidak beres, aku harus keluar dari sini, “Al, aku
ingin keluar sebentar ya, ada yang ingin ku ambil dimotorku” tubuhku mulai
gemetar, Alia mengangguk mempersilahkanku dan aku segera melangkah menuju pintu
luar, dan... Sial !! pintunya tidak bisa dibuka, berkali-kali aku mencoba tetap
saja tidak bisa, ya Tuhan.. aku dijebak.
Alia berdiri disana berjarak sekitar
10 kaki dariku, wajahnya yang cantik kini berubah menjadi wajah yang akan
membunuh, di tangan kanannya suatu benda tajam yang mengkilat, sementara tangan
kirinya memegang sebuah pistol yang sudah terisi penuh dengan peluru, aku makin
gemetar, ya Tuhan.. selamatkan aku.. aku terus berdo’a sementara Alia makin
mendekat, “Jangan Al.. jangan bunuh aku, apa salahku.. istigfar Al..” aku
mencoba mempengaruhinya, tetapi tetap saja ia semakin mendekat, aku berlari ke
bagian belakang sofa dan tatapannya makin membunuh, “aku benci semua laki-laki..!!”
Alia berteriak, ia mengangkat pistolnya dan mengarahkan tepat dikepalaku. Rasanya
aku sudah tak bernyawa lagi, Alia menarik bagian trigger pistol dengan kedua
jari telunjuknya. Aku memejamkan mataku, tubuhku semakin bergetar hebat, sepertinya
dirumah ini malaikat pencabut nyawa sudah siap siaga, , entah aku tetap hidup
untuk 1 detik kedepan, atau akan mati ditangan kekasihku sendiri.
Gubbrakkk..!!!
suara dobrakan pintu tiba-tiba saja terdengar, mengalihkan perhatian Alia, 4
orang polisi ada disana dengan pistol yang ada ditangan mereka masing-masing,
membuat Alia tergernyit dan senjata yang ada di tangannya terlepas dengan
spontan, 2 orang polisi segera memborgol tangan Alia dan memasukkannya kedalam
mobil patroli, jantungku masih berdetak kencang, tak percaya dengan semua
kejadian ini, lantas mengapa polisi tiba-tiba datang kemari? Aku mengkerutkan dahiku
bertanya heran pada diriku sendiri, rasa traumaku masih bergelimang,, ahh
entahlah.. aku harus segera pergi dari sini, yang terpenting aku selamat.
Seseorang berdiri di halaman rumah
Alia, sepertinya aku kenal, tetapi siapa?, “apa ku bilang, kau memang tidak
waras, lihat sekarang, siapa yang bodoh?” astaga.. itu Hendri, “kau.. bagaimana
kau ada disini?” wajahku masih pucat pasi. “aku? Ada disini?” Hendri tertawa
geli, “Bara.. Bara.. aku disini untuk menolongmu, aku yang membawa polisi
kesini”, aku menelan ludah mendengar apa yang dikatakannya, “kemarin aku tak
sengaja membaca pesan di handphonemu dan aku mengetahui rencanamu dengan Alia,
aku sudah mencurigainya Bar, dan kali ini kau berhutang budi yang sangat besar
padaku” Hendri mendekatiku dan menepuk-nepuk pundakku, aku tak dapat
mengucapkan apa-apa, semuanya terasa mimpi, aku tersenyum kepada Hendri dan memeluknya,
inilah arti sahabat, tak ternilai, keberanian yang tak mengharap gantian.
Sungguh diluar dugaan, jadi Alia sendiri lah di balik kematian siwa-siswa yang terbunuh, Alia benar, tidak ada yang menyimpan dendam asmara kepadanya, tetapi dia lah pelakunya, dialah pembunuh itu. Ternyata Alia memiliki kelainan
psikologis, ia mengalami ketraumaan, karena dulu ibunya mati dibunuh
mengenaskan ditangan suaminya sendiri, ayah kandung Alia yang telah
membunuh ibunya, itulah penyebab mengapa ia seperti ini, kini Alia ditangkap
dan akan di rehabilitasi.
THE
END



Tidak ada komentar:
Posting Komentar